Arsip Blog

Senin, 19 April 2010

Interview Tak Ada Ujung

Kata Pengantar
Matahari mulai memperlihatkan sinarnya saat ayam jantan berbunyi di pagi hari, sesaat kaget ku dibuat oleh suara dering weker HP yang sengaja kupasang semalam setelah letih bekerja keras mempersiapkan diri. Keringat masih membasahi keningku saat kusadari celana dalamku basah tak tersadarkan. Ahhh…. Mimpi ini lagi… ??? padahal aku sudah berumur lebih dewasa dari ABG ternyata fenomena mimpi basah masih saja menghantuiku meskipun aku tidak pernah selalu mengharapkannya.
Sial sudah jam 8 lebih 15 menit… teriakku keras-keras setelah terkejut melihat jarum jam di dinding kamarku yang terus berjalan. Waktu memang begitu kejam, tak sedikitpun toleransi yang pernah diberikannya pada kita. Sampai-sampai aku dendam pada waktu, awas nanti kalau ketemu di jalan, pasti kubunuh kau… ironisnya tak ada seorangpun yang sanggup membunuh waktu. Kupikir mungkin hanya doraemon yang sanggup dengan mudah masuk ke dalam laci meja belajar nobita dan memutar waktu semaunya, andai aku bisa.

Aku harus bergegas… kataku dalam hati sembari membasuh bekas air liur yang mengering di tepi bibirku yang kering. Serentak kutarik handuk besar yang menggantung di belakang pintu kamar dan membawanya ke kamar mandi dengan tujuan mempercantik diri. Kuhembuskan nafas keras-keras setelah tahu sabun mandiku sudah mulai menipis. Kusadari betapa miskinnya aku hingga tak mampu membeli sebatang sabun mandi untuk keperluanku. Selanjutnya seperti yang orang normal lakukan dalam kamar mandi, kurasa hal ini tidak perlu kutuliskan detail-detail.
Semangatku mulai mereda ketika kusadari tak cukup waktu lagi untukku menghadiri panggilan interview di salah satu perusahaan swasta yang minggu lalu ku-apply via email. Lebih baik kunikmati saja kopi panas di pagi hari sembari menghisap sebatang tongkat kanker, mungkin itu akan memberikan inspirasi baru untukku. Aku hampir bosan menghadiri interview dengan pertanyaan yang hampir sama. Ironisnya jawaban apa yang sebenarnya dapat meyakinkan pewawancara, aku sendiri tidak paham. Padahal berbagai cara telah kutempuh untuk dapat berhasil dalam wawancara kerja, mulai dari membaca artikel, buku, sampai bertanya pada teman-teman yang sudah berhasil.
Tak terasa banyak waktu kuhabiskan hanya untuk mencari pekerjaan yang layak setelah dua tahun lalu aku menyelesaikan studiku di salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta. Aduh… seharusnya aku tidak perlu menulis ini, universitas negeri di Jakarta cuma ada dua. Menyedihkan memang menjadi mantan mahasiswa. Tapi ini tetap harus kujalani dengan penuh semangat, memang begitulah kehidupan, karena apa lagi yang bisa kukatakan pada diriku sendiri kecuali semangat. Aku yakin suatu saat aku bisa menghasilkan sesuatu yang berharga daripada sekedar interview yang berkepanjangan dan tak ada ujung. Bukankah sebenarnya interview yang kujalani berujung? Iya… ujung-ujungnya ya ditolak juga.
Waktu terus berjalan. Akhirnya kuputuskan untuk beranjak dari lamunanku. Perusahaan di Jakarta tak cuma satu, masih banyak HRD cantik dan seksi yang menungguku di kantor. Berangkaaatt…

Demikian kata pengantar yang dapat saya tuliskan, saya buat dengan sebenar-benarnya berdasarkan kisah nyata dan dapat dipertanggungjawabkan. Besar harapan saya pembaca dapat menikmati semua tulisan saya tanpa cemoohan dan ejekan, karena sebenarnya saya tidak pandai menulis, saya hanya pintar memanfaatkan orang untuk meminjamkan tangannya kepada saya. Berikut saya lampirkan fenomena-fenomena yang dapat kita temui sehari-hari seputar wawancara kerja.


Hormat Saya,



Adi & Bayu


Perjuangan Dimulai
Hujan rintik-rintik di dini hari pertanda awal yang menyuburkan bagi Jakarta. Perjuangan dimulai ketika kulangkahkan kaki kananku keluar melalui pintu depan Bus antar kota. Udara Jakarta menerpa wajahku dengan penuh sambutan, sungguh aroma perjuangan keras yang kurasakan di saat orang lain masih tertidur pulas, supir-supir angkutan umum, pedagang, bahkan penjahat malam masih berkeliaran di terminal mengiringi langkah-langkahku di hari itu. Fenomena-fenomena malam masih kental menyelimuti hangatnya kota. Akhirnya sampai juga aku di Jakarta setelah dua tahun lalu aku meninggalkannya. Tak ada perubahan drastis dengan kota ini. Jakarta…. Aku datang…. Ah… kurasa aku tak perlu seperti itu, bukan pertama kalinya aku ke Ibu Kota. Baiklah kalau begitu, perjuangan dimulai.

Paragraf di atas sedikit banyak menggambarkan tentang orang kampung yang sedikit demi sedikit memadati Ibu Kota. Penuh keyakinan dengan logat yang aneh, sepatu yang tidak matching dengan pakaiannya dan gaya rambut yang terjebak masa lalu. Ransel besar yang berisi pakaian gaul dan stop map ijazah yang sebenarnya bila dibuang pada tmpatnya akan dipungut pemulung. Coba kita bayangkan, setiap tahunnya telah lahir calon pengangguran terdidik di Indonesia yang dengan tidak sopan menyatakan dirinya sebagai seorang sarjana.

Namaku Adi, I was graduated from Technical Engineering Faculty of…. beuh… ga tahu kenapa aku benci sekali dengan bahasa itu. Kita kan orang Indonesia, bertanah air satu tanah air Indonesia mempunyai bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia, seperti yang dikumandangkan kaum pemuda pada 28 Oktober 1928. Tapi, biasanya perusahaan swasta di Indonesia menyunahkan bahasa itu sebagai salah satu kriteria karyawannya. Ironis sekali itu, bila mereka harus berbisnis di Indonesia, kenapa ga mereka saja yang belajar bahasa Indonesia, eh… malah kita jadi korbannya. Orang-orang bule itu enak, mereka sudah bicara bahasa Inggris sejak kecil, sejak belajar berjalan bahkan ketika mereka jatuh dari sepeda kecilnya, ayah mereka akan bilang “come to papa honey!”. Nah…. Kalo kita?? Beuh…. Harus belajar dulu, harus punya sertifikat bebas gagap, harus punya skor TOEFL lebih dari 800 baru bisa bilang “I love you honey” dengan fasih.

Aku seorang yang pekerja keras, supel, suka bergaul, mau belajar, sportif, berjiwa ksatria, hemat dan suka menabung…. He..he… setidaknya seperti itulah yang aku tuliskan di daftar Curriculum Vitae-ku. Sepertinya semuanya sudah lengkap, surat lamaran, foto kopi ijazah, trnaskrip akademik, pas foto ukuran 4 kali 6 dan satu lagi “keyakinan”. Apa lagi yang kurang dari diriku, tinggal pasang muka berwibawa, busungkan dada dan singsingkan lengan baju. Ga mungkin kan kalo surat lamaran yang kusebar tidak tembus satupun. Perusahaan besar di Jakarta banyak man! setidaknya pasti ada yang berkenan menerima ijazahku.

Naahhh… sudah kenal kan dengan pemeran utamanya, mari kita lanjutkan.

Berjalan kaki menelusuri pagi di antara gerimis yang membasuh sepi… hallah sok puitis, langsung saja ke tujuan utamaku, yaitu ke rumah kontrakan sahabat lama. Knock… knock… knock… ha..ha… sok geminggris nih… Knock… knock… knockin’ on heaven’s door…. hallah malah nyanyi. Kuketuk pintu depan dengan hati-hati dan berirama berjarak setengah ketukan knock… knock… knock… tak ada yang merespon…. ulangi lagi knock… knock… knock… masih hening… ulangi lagi knock… knock… knock… kesabaran berkurang. Sepertnya perlu beating more rock n’ roll, baiklah kalau begitu ki sanak, kukepalkan tangan kananku ambil kuda-kuda, tarik ke belakang kumpulkan energi dan…. serbu….. Ternyata pintu terbuka dengan sendirinya. Spontan aku masuk dengan percepatan tertentu. Akhirnya jegeerrrr… sesuatu menimpa keningku. Dalam hal ini percepatan (a) berbanding lurus dengan perubahan kecepatan (∆v). Semakin besar perubahan kecepatan (∆v) yang dilakukan maka makin besar pula percepatannya (a), dan begitu pula sebaliknya, untuk selang waktu (∆t) yang sama. Jadi rumus percepataan adalah perubahahan kecepatan dibagi selang waktu (a = ∆v/∆t). Hukum ini dinyatakan dengan Gerak Lurus Berubah Beraturan (GLBB). Masih ingat saja materi kuliah Fisika Dasar, sepertinya aku masih cukup cerdas tentang hal ini.

3 komentar:

Welcome To By-U Topia World

What if, you think is not as you think...
Make Your own delusion...